Teori Fungsional – Struktural
Teori
Fungsional-struktural adalah sesuatu yang urgen dan sangat bermanfaat dalam
suatu kajian tentang analisa masalah social. Hal ini disebabkan karena studi
struktur dan fungsi masyarakat merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah
menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori
kontemporer.
Oleh
karena itu karena pentingnya pembahasan ini maka kami dari kelompok 2
mengangkat tema ini. Mudah-mudahan dapat bermanfaat.
Tinjauan
singkat tentang Teori Fungsional Struktural
Pokok-pokok
para ahli yang telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini telah
menuangkan berbagai ide dan gagasan dalam mencari paradigma tentang teori ini,
sebut saja George Ritzer ( 1980 ), Margaret M.Poloma ( 1987 ), dan Turner (
1986 ). Drs. Soetomo ( 1995 ) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang
digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta social. Tampilnya
paradigma ini merupakan usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang
baru lahir agar mempunyai kedudukkan sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri.
Secara garis
besar fakta social yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe
yaitu struktur social dan pranata social. Menurut teori fungsional structural,
struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu system social
yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan
menyatu dalam keseimbangan.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa teori ini ( fungsional – structural ) menekankan
kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam
masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam system sosial,
fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur
itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut,
teori inipun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para
penganutnya.
Emile
Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori
fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan
karena Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang
memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki
seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian
yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana
kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang
bersifat “ patologis “. Para fungsionalis kontemporer
menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang
seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau
perubahan social.
Robert
K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya
telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas tentang teori-teori
fungsionalisme, ( ia ) adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih
terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini (
fungsional-struktural ) telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis.
Merton
telah mengutip tiga postulat yang ia kutip dari analisa fungsional dan
disempurnakannya, diantaranya ialah :
1. postulat
pertama, adalah
kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana
seluruh bagian dari system sosial bekerjasama dalam suatu tingkatan keselarasan
atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik
berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Atas postulat ini Merton
memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari satu masyarakat
adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan karena dalam kenyataannya
dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu kelompok, tetapi dapat pula
bersifat disfungsional bagi kelompok yang lain.
2. postulat
kedua, yaitu
fungionalisme universal yang menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan
kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif. Terhadap postulat
ini dikatakan bahwa sebetulnya disamping fungsi positif dari sistem sosial
terdapat juga dwifungsi. Beberapa perilaku sosial dapat dikategorikan kedalam
bentuk atau sifat disfungsi ini. Dengan demikian dalam analisis keduanya harus
dipertimbangkan.
3. postulat
ketiga, yaitu indispensability
yang menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek
materiil dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah
tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat
dipisahkan dalam kegiatan system sebagai keseluruhan. Menurut Merton, postulat
yang kertiga ini masih kabur ( dalam artian tak memiliki kejelasan, pen ),
belum jelas apakah suatu fungsi merupakan keharusan.
Pengaruh
Teori ini dalam Kehidupan Sosial
Talcott Parsons
dalam menguraikan teori ini menjadi sub-sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa
diantara hubungan fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang
berbeda dan terorganisir secara simbolis :
- pencarian pemuasan psikis
- kepentingan dalam menguraikan
pengrtian-pengertian simbolis
- kebutuhan untuk beradaptasi
dengan lingkungan organis-fisis, dan
- usaha untuk berhubungan dengan
anggota-anggota makhluk manusia lainnya.
Sebaliknya
masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki empat prasyarat fungsional yang
harus mereka adakan sehingga bias diklasifikasikan sebagai suatu istem. Parsons
menekankan saling ketergantungan masing-masing system itu ketika dia menyatakan
: “ secara konkrit, setiap system empiris mencakup keseluruhan, dengan
demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak merupakan sebuah organisme,
kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta dalam system cultural “.
Walaupun
fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak selalu harus
merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham ini benar-benar
berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu studi tentang struktur-struktur
social sebagai unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling
tergantung.
Fungsionalisme
struktural sering menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur
atau lembaga sosial. System ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian
yang saling tergantung. Ilustrasinya bisa dilihat dari system listrik, system
pernapasan, atau system sosial. Yang mengartikan bahwa fungionalisme struktural
terdiri dari bagian yang sesuai, rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti
layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki
kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena system cenderung ke arah
keseimbangan maka perubahan tersebut selalu merupakan proses yang terjadi
secara perlahan hingga mencapai posisi yang seimbang dan hal itu akan terus
berjalan seiring dengan perkembangan kehidupan manusia.
TEORI
KONFLIK MENURUT KARL MARX
1. Teori
Konflik Karl Marx (1818- 1883)
Teori konflik
Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok
pemisahan kelas dalam masyarakat.
Marx mengajukan
konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak
mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam
masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas
pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua
kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan
eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.. Eksploitasi ini akan
terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri
proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap
terjaga.
Ketegangan hubungan antara kaum
proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi.
Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi
kaum borjuis terhadap mereka.
TEORI
KONFLIK MENURUT LEWIS A. COSER
1. Teori
Konflik Lewis A. Coser
Konflik dapat
merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan
pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas
antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat
kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial
sekelilingnya.
Seluruh fungsi
positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang
sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan
gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktek- praktek ajaran katolik
pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja
Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun-
tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara
Arab dan Israel.
Coser (1956:
41) melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan
permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara fihak- fihak yang
bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah
salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok
dari kemungkinan konflik sosial.Katup penyelamat merupakan sebuah institusi
pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur. Contohnya Badan
perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat
kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem
tersebut.
Menurut Coser
konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
- Konflik Realistis, berasal dari
kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan
dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang
ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan
yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji
dinaikkan.
- Konflik Non- Realistis, konflik
yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari
kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak.
Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya
melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya
masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti
ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
TEORI KONFLIK MENURUT RALF
DAHRENDORF
1. Teori
Konflik Ralf Dahrendorf
Teori konflik
Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta
modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Karl Marx
Pendapat
Dahrendorf (1959: 176) dalam buku Sosiologi Kontemporer halaman 136:
Secara empiris,
pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisa bila dilihat sebagai
pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. Dalam setiap
asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan
ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok
bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang
terkandung di dalamnya.
Misalnya kasus
kelompok minoritas yang pada tahun 1960-an kesadarannya telah memuncak, antara
lain termasuk kelompok- kelompok kulit hitam, wanita, suku Indian dan Chicanos.
Kelompok wanita sebelum tahun 1960-an merupakan kelompok semu yang ditolak oleh
kekuasan di sebagian besar struktur sosial di mana mereka berpartisipasi. Pada
pertengahan tahun 1960-an muncul kesadaran kaum wanita untuk menyamakan
derajatnya dengan kaum laki- laki., yang kemudian diikuti oleh perkembangan
kelompok yang memperjuangkan kebebasan wanita.
TEORI
INTERAKSI SIMBOLIK
Tokoh
teori interaksi simbolik antara lain : George Herbert Mend, Herbert
Blumer, Wiliam James, Charles Horton Cooley. Teori interaksi simbolik
menyatakan bahwa interaksi sosial adalah interaksi symbol. Manusia berinteraksi
dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol yang lain memberi makna atas
simbol tersebut.
Asumsi-asumsi:
1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi melalui tindakan bersama
dan membentuk organisasi.
2.Interaksi
simbolik mencangkup pernafsiran tindakan. Interaksi non simbolik hanyalah
mencangkup stimulus respon yang sederhana.
PELAPISAN
SOSIAL /STRATIFIKASI SOSIAL
Pelapisan
sosial adalah perbedaan tinggi rendah kedudukan seseorang/sekelompok orang
dibandingkan dengan sseseorang atau sekelompok orang lain dalam masyarakat.
Pelapisan sosial dapat terjadi karena pengaruh berbagai kriteria, antara lain
ekonomi, politik, sosial.
1. Sistem
Pelapisan Sosial
Menurut
status kependudukan asli atau pendatang misalnya di daerah Jawa dengan adanya
cikal bakal yaitu orang yang merintis tinggal didaerah tersebut dan mempunyi
keturunan di daerah tersebut, womg baku yaitu orang yang mempunyai saudara,
tanah, dan lahir di daerah tersebut, pendatang yaitu orang yang membeli tanah
dan membangun didaerah tersebut. Sedangkan di Sumatra Utara ada yang disebut
dengan Sipunta huta/bangsa taneh yaitu keturunan nenek moyang dan penduduk
pendatang.
2. Diferensiasi
Sosial
Diferensiasi
sosial ialah perbedaan sosial dalam masyarakat secara horisontal. Bentuk
diferensiasi sosial yaitu diferensiasi jenis kelamin, diferensiasi agama,
diferensiasi profesi dsb.
TEORI
PERTUKARAN SOSIAL (Social Exchange Theory)
Teori pertukaran sosial ini didasarkan pada pemikiran bahwa seseorang dapat
mencapai suatu pengertian mengenai sifat kompleks dari kelompok dengan mengkaji
hubungan di antara dua orang (dyadic relationship). Suatu kelompok
dipertimbangkan untuk menjadi sebuah kumpulan dari hubungan antara dua
partisipan tersebut.Perumusan tersebut mengasumsikan bahwa interaksi manusia
melibatkan pertukaran barang dan jasa, dan bahwa biaya (cost) dan imbalan
(reward) dipahami dalam situasi yang akan disajikan untuk mendapatkan respons
dari individu-individu selama berinteraksi sosial. Jika imbalan dirasakan tidak
cukup atau lebih banyak dari biaya, maka interaksi kelompok kan diakhiri, atau
individu-individu yang terlibat akan mengubah perilaku mereka untuk melindungi
imbalan apapun yang mereka cari.
Pendekatan
pertukaran sosial ini penting karena berusaha menjelaskan fenomena kelompok
dalam lingkup konsep-konsep ekonomi dan perilaku mengenai biaya dan imbalan.
Tokoh-tokoh
yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John
Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961),Richard Emerson
(1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk kedalam
hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita
memperolehimbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan
menghasilkansuatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial,
teori pertukaran sosialpun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat
hubungan yang salingmempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya
terdiri atas orang-orangl ain, maka kita dan orang-orang lain tersebut
dipandang mempunyai perilaku yang salingmempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat
unsur imbalan (reward), pengorbanan(cost) dan keuntungan (profit). Imbalan
merupakan segala hal yang diperloleh melaluiadanya pengorbanan, pengorbanan
merupakan semua hal yang dihindarkan, keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh
pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri ataspertukaran paling sedikit antar
dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya,pola-pola perilaku di
tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akanlanggeng
manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi
perilakuseseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan
menguntungkan bagidirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka
perilaku tersebut tidak ditampilkan.